Jokowi mengikuti agendanya, tetapi popularitasnya menurun: Jakarta Post

JAKARTA (The Jakarta Post / ANN): – Dalam biografinya tentang Joko ‘Jokowi’ Widodo, ‘Man of Contradictions’, mantan koresponden Financial Times Ben Bland menegaskan presiden ketujuh Indonesia itu tidak berniat menggugat Soeharto gaya pemerintahan otoriter.

Namun, Bland, yang mengikuti jejak Jokowi dari kampung halamannya di Surakarta hingga ke istana presiden, tak segan menyebut Jokowi sebagai “pemelihara demokrasi yang buruk”.

Bagi sebagian kritikus, stagnasi demokrasi, meski bukan kemunduran, menjadi ciri khas pemerintahan Jokowi, terbukti dari desakannya terhadap revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kontroversial tahun lalu dan baru-baru ini disahkannya omnibus law. tentang penciptaan lapangan kerja.

Kedua produk legislatif tersebut menimbulkan protes besar-besaran, dengan serentetan demonstrasi menentang omnibus law di Jakarta, yang merupakan tahun pertama masa jabatan kedua Jokowi pada Selasa. Dalam kasus UU KPK, Jokowi tak berkutik.

Undang-undang tersebut telah diberlakukan, namun tampaknya masyarakat tidak lagi peduli dengan perubahan operasional badan antigraft tersebut. Orang-orang tampaknya cukup puas dengan KPK untuk terus memburu tersangka transplantasi.

Demikian pula, Jokowi telah memilih untuk menutup telinga terhadap konspirasi serikat pekerja, kelompok masyarakat sipil, pencinta lingkungan, kelompok mahasiswa, dan bahkan dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang percaya bahwa omnibus law akan lebih merugikan daripada menguntungkan. . .

Seorang pemimpin Majelis Ulama Indonesia mengenang bahwa Jokowi dalam rapat konsultasi pada hari Senin menolak usulan bahwa ia harus mengeluarkan peraturan daripada undang-undang untuk mencabut omnibus law.

Jokowi melakukan apa yang dia janjikan dalam pidato pengukuhannya tahun lalu untuk menghilangkan semua hambatan dalam agendanya.

Bukan hanya dia tidak akan rugi di masa jabatan terakhirnya, tetapi dia juga menjadi lebih kuat mengingat koalisinya memiliki mayoritas di DPR, yang menentang kontrol Soeharto atas badan legislatif.

Penolakan untuk menunda pilkada lagi, meski ada peringatan tentang kemungkinan ledakan besar penyebaran Covid-19 di 270 daerah tuan rumah kotak suara pada awal Desember, menjadi bukti kekerasan lain yang dilakukan Jokowi, tentunya berkat dukungan luar biasa dari DPR. -politik.

Pertanyaan tentang konflik kepentingan masih membayangi karena putra tertua Jokowi dan menantunya masing-masing akan mengikuti balapan di Surakarta, Jawa Tengah dan Medan, Sumatera Utara. Terlepas dari pandemi Covid-19, impian besar Jokowi untuk merelokasi ibu kota ke Kalimantan Tengah tetap ada.

Bahkan pandemi, yang menginfeksi hampir 370.000 orang dan menewaskan 12.700 di antaranya, tidak dapat menghentikan Jokowi untuk mewujudkan agendanya, seringkali dengan mengorbankan demokrasi.

Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak orang telah ditangkap karena mengungkapkan kekecewaan mereka, jika bukan kemarahan, kepada pemerintah, dan karena mengintimidasi aktivis kritis dan media agar tidak diperhatikan.

Tidak mengherankan jika survei terbaru Kompas menemukan bahwa tingkat penerimaan Jokowi turun di bawah 50 persen, dengan 46,3 persen kecewa dan 6,2 persen sangat kecewa dengan kinerja pemerintah di bidang ekonomi, politik, penegakan hukum. dan kesejahteraan masyarakat.

Masih belum pasti apakah pemungutan suara semacam itu dapat mengubah permainan, tetapi sebagai produk demokrasi, Jokowi seharusnya tidak ingin meninggalkan warisan yang tidak demokratis. – The Jakarta Post / Asia News Network

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *